Powered By Blogger

Rabu, 06 Juni 2012


TUGAS ULUMUL HADIST
PENJELASAN HADIS YANG KE- 12 ARBAIN AN-NAWAWI
Disusun Oleh:
NAMA: FENDY HIDAYAT
NIM: 151.115.135
KLS: II D

JURUSAN PENDIDIKAN IPA BIOLOGI
FAKULTAS TARBIYAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)
MATARAM
2011/ 2012

KATA PENGANTAR
Alhamdulillah puji syukur atas kehadirat Allah SWT yang telah memberikan kita berbagai macam nikkmat.baik nikmat jasmani ataupun rohani sehingga kami dapat menyelesaikan tugas Ulumul Hadist.
Ke dua kalinya solawat beserta salam tetap terlucurkan kepangkuan Nabi angung akhir zaman yakni Nabi Muhammad SAW. Berkat beliau kita masih mengecap yang namanya nikmat agama atauput nikmat hidup di dunia ini,Allahummasolliwasallil wa barik alaih.
Kami menyusun tugas ini untuk menyesalikan tugas mid semester yang telah diselenggarakan oleh Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Mataram.
Jika ada kata-kata atau suatu kesalah di dalam penyusunan tugas Ulumul Hadist ini tersebut mohon dimafkan.
WASSALAM


PEMBAHASAN
HADITS KEDUA BELAS
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ : قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم: مِنْ حُسْنِ إِسْلاَمِ الْمَرْءِ تَرْكُهُ مَا لاَ يَعْنِيْهِ
[حديث حسن رواه الترمذي وغيره هكذا]
1.      Terjemah hadits :
Dari Abu Hurairah radhiallahunhu dia berkata : Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam bersabda : Merupakan tanda baiknya Islam seseorang, dia meninggalkan sesuatu yang tidak berguna baginya .(HR: Turmuzi dan lainnya)
2.      Pelajaran:
1.      Termasuk sifat-sifat orang muslim adalah dia menyibukkan dirinya dengan perkara-perkara yang mulia serta menjauhkan perkara yang hina dan rendah.
2.      Pendidikan bagi diri dan perawatannya dengan meninggalkan apa yang tidak bermanfaat didalamnya.
3.      Menyibukkkan diri dengan sesuatu yang tidak bermanfaat adalah kesia-siaan dan merupakan pertanda kelemahan iman.
4.      Anjuran untuk memanfaatkan waktu dengan sesuatu yang manfaatnya kembali kepada diri sendiri bagi dunia maupun akhirat.
5.      Ikut campur terhadap sesuatu yang bukan urusannya dapat mengakibatkan kpada perpecahan dan pertikaian diantara manusia.



1.      Penjelasan:
Hadits ini adalah prinsip dasar dalam tata kesopanan dan bimbingan yang selamat, yaitu seseorang hendaknya meninggalkan apa yang tidak ada kepentingannya dan tidak ada hubungan dengan dirinya. Ini di antara baiknya nilai keislamannya. Ini pun akan membuatnya lega karena jika ia tidak terbebani dengan hal itu, maka ia merasa lega, tidak diragukan lagi hal itu lebih menentramkannya.
Dari hadits ini dapat dipetik faedah:
1.      Sesungguhnya kadar keislaman manusia berbeda-beda. Di antaranya ada yang baik, ada yang baik, ada pula yang tidak demikian. Berdasarkan sabdanya, “Di antara kebaikan Islam seseorang.”.
2.       Seseorang sepantasnya meninggalkan apa-apa yang tidak ada urusan dengannya, baik dalam urusan agama, maupun dalam urusan dunia, karena dengan demikian waktunya lebih terjaga, agamanya lebih selamat, dan kealpaan yang diperbuat pun lebih ringan. Tetapi jika ia turut campur dalam urusan orang lain yang tidak ada kepentingan padanya, maka ia akan merasa lelah. Namun jika dia berpaling darinya dan hanya menyibukkan dengan hal-hal yang berguna baginya, maka hal itu akan membuatnya tenang dan tentram.
3.      Seorang sepantasnya tidak menyia-nyiakan apa-apa yang berguna baginya, yaitu perkara-perkara yang berkaitan dengannya baik dalam urusan agama maupun urusan dunia, bahkan ia harus memperhatikan dan menyibukkan diri dengan hal tersebut dan melakukan apa-apa yang lebih dekat kepada pencapaian tujuan.




« مِنْ حُسْنِ إِسْلاَمِ الْمَرْءِ تَرْكُهُ مَا لاَ يَعْنِيْهِ »

“Di antara tanda kebaikan keislaman seseorang; jika dia meninggalkan hal-hal yang tidak bermanfaat baginya.”“Min husni islamil mar’i” i’rabnya adalah khabar yang didahulukan. Sedangkan “Tarku” adalah mubtada’ yang diakhirkan (Syarah al-Arba’in an-Nawawiyah oleh Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin, hal 181)
  • Huruf min dalam hadits ini jenisnya tab’idhiyyah (sebagian). Jadi makna hadits ini adalah: meninggalkan perkara-perkara yang tidak bermanfaat, merupakan sebagian dari hal-hal yang bisa mendatangkan baiknya keislaman seseorang (Jami’ al-’Ulum, hal 208).

Kapankah keislaman seseorang dianggap baik?
Para ulama berbeda pendapat:
1. Sebagian memandang bahwa kebaikan Islam seseorang dicapai dengan mengerjakan kewajiban-kewajiban dan menjauhi larangan-larangan. Dan ini adalah tingkatan golongan yang pertengahan, yang disitir oleh Allah ta’ala dalam firman-Nya,
ثُمَّ أَوْرَثْنَا الْكِتَابَ الَّذِيْنَ اصْطَفَيْنَا مِنْ عِبَادِنَا فَمِنْهُمْ ظَالِمٌ لِنَفْسِهِ وَمِنْهُمْ مُقْتَصِدٌ وَمِنْهُمْ سَابِقٌ بِالْخَيْرَاتِ بِإِذْنِ اللهِ

“Kemudian kitab itu kami wariskan kepada orang-orang yang Kami pilih di antara hamba-hamba Kami, lalu di antara mereka ada yang menganiaya diri mereka sendiri, di antara mereka ada yang pertengahan dan di antara mereka ada (pula) yang lebih dahulu berbuat kebaikan dengan izin Allah.” (QS. Fathir: 32).

Orang yang baik keislamannya adalah golongan pertengahan yang mengerjakan kewajiban-kewajiban dan sebagian yang sunah, serta meninggalkan semua hal-hal yang diharamkan.
2. Pendapat kedua mengatakan: Kebaikan Islam seseorang artinya: jika ia telah mencapai tingkatan ihsan yang disebutkan dalam hadits,
قَالَ: فَأَخْبِرْنِي عَنِ الإِحْسَانِ, قَالَ: «أَنْ تَعْبُدَ اللهَ كَأَنَّكَ تَرَاهُ, فَإِنْ لَمْ تَكُنْ تَرَاهُ فَإِنَّهُ يَرَاكَ»

Jibril bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Apakah ihsan itu?” Beliau menjawab: “Kamu beribadah kepada Allah seakan-akan engkau melihat-Nya. Seandainya engkau tidak mampu, ketahuilah bahwasanya Dia itu melihatmu.” (HR. Muslim no: 93).
3. Pendapat ketiga memandang bahwa kebaikan keislaman itu bertingkat-tingkat, masing-masing orang berbeda-beda tingkatannya. Besarnya pahala dan keutamaan seseorang tergantung tingkatan kebaikan keislaman dia. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
« إِذَا أَحْسَنَ أَحَدُكُمْ إِسْلاَمَهُ فَكُلُّ حَسَنَةٍ يَعْمَلُهَا تُكْتَبُ لَهُ بِعَشْرِ أَمْثَالِهَا إِلَى سَبْعِمِائَةِ ضِعْفٍ »

“Jika Islam salah seorang dari kalian baik, maka setiap amal kebaikan yang ia lakukan akan dicatat (pahalanya) sepuluh kali lipat hingga tujuh ratus kali lipat.” (HR. Bukhari no: 42)
  • Keterangan para ulama ahli penelitian (tahqiq) mengatakan bahwa kebaikan keislaman itu bertingkat-tingkat, tidak hanya satu level saja (menguatkan pendapat ketiga).
Hal lain yang perlu dikemukakan di sini adalah bahwasanya agama Islam telah menghimpun segala macam bentuk kebaikan. Syaikh Abdurrahman bin Nashir As Sa’dy dalam hal ini telah mengarang bukunya: “Mahasin al-Islam” (Keindahan-keindahan Agama Islam), demikian pula Syaikh Abdul Aziz bin Muhammad bin Salman mempunyai tulisan tentang pembahasan ini. Dan perlu diketahui bahwa seluruh kebaikan ajaran Islam telah terhimpun dalam dua kata yang disebutkan Allah dalam surat An Nahl ayat 90:
إِنَّ اللهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالإِحْسَانِ
“Sesungguhnya Allah menyuruh (kalian) berlaku adil dan berbuat kebajikan.” (QS. An-Nahl: 90) (Syarah al-Arba’in an-Nawawiyah oleh Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin, hal 158).
  • Al-’Inayah secara etimologi berarti: perhatian yang sangat terhadap sesuatu, atau suatu hal penting yang diperhatikan. Jadi maksud dari maa laa ya’niih” adalah sesuatu yang tidak bermanfaat bagi pemerhatinya dan tidak ada maslahat baginya (Syarh al-Arba’in an-Nawawiyah, oleh Syaikh Shalih Alu Syaikh, hal: 78)
  • Sesuatu yang tidak bermanfaat bagi seorang muslim, bisa berbentuk perkataan bisa juga berbentuk perbuatan. Jadi setiap perkataan dan perbuatan yang tidak ada manfaatnya baik itu untuk kepentingan ukhrawi seorang muslim ataupun untuk kepentingan duniawinya, seharusnya dia tinggalkan agar keislamannya menjadi baik (Lihat: Syarh al-Arba’in Haditsan an-Nawawiyah, oleh Imam Nawawi hal: 40).






Hal ini perlu ditekankan karena banyak orang yang salah paham dalam Bagaimana kita bisa mengetahui apakah sesuatu itu termasuk bermanfaat bagi kita atau tidak? Apakah standar dan patokan yang kita gunakan untuk menentukan suatu perbuatan itu termasuk bermanfaat bagi seorang muslim atau tidak? Ketahuilah bahwa standar yang harus kita gunakan dalam masalah ini adalah bukan hasyariat dan wa. M nafsuengapa?
Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjadikan “meninggalkan suatu hal yang tidak bermanfaat” sebagai tanda dari kebaikan keislaman seseorang. Ini menunjukkan bahwa patokan yang harus kita gunakan dalam menilai bermanfaat tidaknya suatu perbuatan adalah syariat Islam.
memahami hadits ini, sehingga dia meninggalkan hal-hal yang diwajibkan syariat atau disunahkan, dengan alasan bahwa hal-hal itu tidak bermanfaat baginya (Qawa’id wa Fawaid min al-Arba’in an-Nawawiyah, oleh Nadzim Sulthan, hal: 123, dan Bahjah an- Nadzirin Syarh Riyadh ash-Shalihin, oleh Salim al-Hilaly I/142).

Insya Allah di akhir penjelasan hadits akan kita bawakan contoh dari kesalahpahaman tersebut.

Adapun sekarang, maka terlebih dahulu akan kita datangkan contoh hal-hal yang tidak bermanfaat bagi seorang muslim, antara lain:
1. Maksiat atau hal-hal yang diharamkan oleh Allah ta’ala.
  • Dan ini hukumnya wajib untuk ditinggalkan oleh setiap manusia (Bahjah al-Qulub al-Abrar wa Qurrat ‘Uyun al-Akhbar fi Syarh Jawami’ al-Akhbar, oleh Syaikh Abdurrahman as-Sa’dy, hal: 137). Karena dia bukan hanya tidak bermanfaat, tapi juga membahayakan diri sendiri, baik di dunia maupun di akhirat. Di antara bahaya yang ditimbulkan maksiat di dunia adalah: mengerasnya hati dan menghitam, hingga cahaya yang ada di dalamnya padam. Akibatnya, dia pun menjadi buta jadi tidak bisa membedakan mana yang haq dan mana yang batil (Lihat: Badai’ at-Tafsir al-Jami’ li Tafsiri Ibn al-Qayyim, oleh Yusri as-Sayyid Muhammad, V/153-155, dan Taisir al-Karim ar-Rahman fi Tafsir Kalam al-Mannan, oleh Syaikh Abdurrahman as-Sa’dy, hal 916).
Akibat buruk ini telah dijelaskan oleh Nabi kita shallallahu ‘alaihi wa sallam,
« إِنَّ الْعَبْدَ إِذَا أَخْطَأَ خَطِيْئَةً نُكْتَتُ فِي قَلْبِهِ نُكْتَةً سَوْدَاءَ, فَإِنْ هُوَ نَزَعَ وَاسْتَغْفَرَ صَقلَ قَلْبُهُ,
وَإِنْ زَادَ زِيْدَ فِيْهَا حَتَّى تَعْلُو قَلْبُهُ وَهُوَ الرَّانُ الَّذِي ذَكَرَ اللهُ كَلاَّ بَلْ رَانَ عَلَى قُلُوْبِهِمْ مَا كَانُوْا يَكْسِبُوْنَ
“Jika seorang hamba berbuat sebuah dosa, maka akan ditorehkan sebuah noktah hitam di dalam hatinya. Tapi jika ia meninggalkannya dan beristigfar niscaya hatinya akan dibersihkan dari noktah hitam itu. Sebaliknya jika ia terus berbuat dosa, noktah-noktah hitam akan terus bertambah hingga menutup hatinya. Itulah dinding penutup yang Allah sebutkan dalam ayat (Sekali-kali tidak demikian, sebenarnya apa yang selalu mereka kerjakan itu menutup hati mereka)” (QS.al-Muthaffifin: 14) (HR Tirmidzi dan Ibn Majah serta dihasankan oleh Syaikh Al Albani).
  • Adapun di akhirat, maka orang yang gemar berbuat maksiat, diancam oleh Allah untuk dimasukkan ke dalam neraka, na’udzubillah min dzalik.

2. Hal-hal yang dimakruhkan dalam agama kita, juga berlebih-lebihan dalam mengerjakan hal-hal yang diperbolehkan agama, yang sama sekali tidak mengandung manfaat, malah justru terkadang menghalangi seseorang dari berbuat amal kebajikan (Bahjah al-Qulub al-Abrar, hal: 137, lihat pula: Syarh al-Arbain oleh Syaikh Shalih Alu Syaikh, hal: 80).
  • Di antara yang harus mendapat porsi terbesar dari perhatian kita adalah masalah lisan. Imam an-Nawawi menasihatkan, “Ketahuilah, seyogianya setiap muslim berusaha untuk selalu menjaga lisannya dari segala macam bentuk ucapan, kecuali ucapan yang mengandung maslahat. Jikalau dalam suatu ucapan, maslahat untuk mengucapkannya dan maslahat untuk meninggalkannya adalah sebanding, maka yang disunnahkan adalah meninggalkan ucapan tersebut. Sebab perkataan yang diperbolehkan terkadang membawa kepada perkataan yang diharamkan atau yang dimakruhkan. Dan hal itu sering sekali terjadi. Padahal keselamatan (dari hal-hal yang diharamkan atau dimakruhkan) adalah sebuah (mutiara) yang tidak ternilai harganya.” (Riyadh ash-Shalihin, hal: 483).
  • Pengalaman membuktikan bahwa perkataan yang baik, indah dan yang telah dipertimbangkan secara bijak, atau mencukupkan diri dengan diam, akan mendatangkan kewibawaan dan kedudukan dalam kepribadian seorang muslim. Sebaliknya, banyak bicara dan gemar ikut campur perkara yang tidak bermanfaat, akan menodai kepribadian seorang muslim, mengurangi kewibawaan dan menjatuhkan kedudukannya di mata orang lain (Qawa’id wa Fawaid, hal: 123).
  • Imam Ibnu Hibban berpetuah, “Orang yang berakal seharusnya lebih banyak mempergunakan kedua telinganya daripada mulutnya. Dia perlu menyadari bahwa dia diberi telinga dua buah, sedangkan diberi mulut hanya satu; adalah supaya dia lebih banyak mendengar daripada berbicara. Sering kali seseorang menyesal di kemudian hari akibat perkataan yang ia ucapkan, sementara diamnya dia tidak akan pernah membawa penyesalan. (Perlu diketahui pula) bahwa menarik diri dari perkataan yang belum diucapkan adalah lebih mudah daripada mencabut perkataan yang telah terlanjur diucapkan. Karena biasanya jika seseorang tengah berbicara, maka kata-katanyalah yang akan menguasai dirinya, sebaliknya jika tidak berbicara, maka ia mampu untuk mengontrol kata-katanya (Raudhah al-’Uqala wa Nuzhah al-Fudhala, hal: 45, dinukil dari Rifqan Ahl as-Sunnah bi Ahl as-Sunnah Menyikapi Fenomena Tahdzir dan Hajr, oleh Syaikh Abdul Muhsin al-’Abbad hafidzhahullah, hal 31).
Banyak orang meremehkan perkataan-perkataan yang terlepas dari lisannya, serta tidak mempedulikan dampak baik buruknya. Padahal jauh-jauh hari Nabi kita shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memperingatkan,
« إِنَّ الْعَبْدَ لَيَتَكَلَّمُ بِالْكَلِمَةِ مَا يَتَبَيَّنُ مَا فِيْهَا , يَهْوِي بِهَا فِي النَّارِ أَبْعَدُ مَا بَيْنَ الْمَشْرِقِ وَالْمَغْرِبِ »
“Seringkali seorang hamba mengucapkan suatu perkataan yang tidak ia pikirkan dampaknya, padahal ternyata perkataan itu akan menjerumuskannya ke neraka yang dalamnya lebih jauh dari jarak timur dengan barat” ( HR. Bukhari, no: 6477, dan Muslim, no: 7407).

KESIMPULAN
Sebagian memandang bahwa kebaikan Islam seseorang dicapai dengan mengerjakan kewajiban-kewajiban dan menjauhi larangan-larangan.
           



DAFTAR PUSTAKA

Tidak ada komentar:

Posting Komentar